Menulis ulang perpisahan.

9 januari 2018, tepat 3 hari sebelum hari jadi kami yang pertama Ridhwan memutuskan pergi dariku. Itu artinya sudah satu bulan berlalu tanpa kabarnya.
Hari itu aku sempat dibuatnya tidak habis pikir, bagaimana bisa ia pergi begitu saja tanpa menyisakan apapun, minimal sebuah salam perpisahan.

Aku bahkan masih bisa mengingat dengan jelas betapa kacaunya aku di hari itu, menyalahkan serta mengutuk diri sendiri tentang ketidakbecusan ku mempertahankannya sekali lagi. Dan mungkin satu-satunya hal yang ku lupa adalah berapa banyak tissue yang aku habiskan di hari itu. Hahaha.

Sahabat-sahabatku tentunya berusaha keras menghiburku, tidak sedikit juga yang menyalahkan ku karena sudah keras kepala berkali-kali mempertahankan orang seperti Ridhwan. Mereka semua bilang Ridhwan terlalu jahat dan aku begitu bodoh. Aku sama sekali tidak mau membantah, 100% aku menyetujui itu.
Alih-alih menyalahkan Ridhwan, hari itu aku bedoa untuk kebahagiaannya. Sahabat-sahabatku sontak mengataiku sudah gila, tapi ku rasa aku tak pernah sewaras ini. Sejak hari itu, aku hanya berharap ridhwan bahagia, itu juga salah satu hal yang ku tulis dipesan panjang terakhirku yang tentunya tidak mungkin ia baca karena buru-buru memblokir semua sosial media yang terhubung denganku.

Ku harap mimpi-mimpinya tercapai, lulus study dan menikah dengan orang yang ia cintai di tahun ini, juga menjadi seorang pengusaha sukses seperti impiannya. Sebab jika ia sudah bahagia, ia mungkin tidak membutuhkanku lagi, ia juga tidak akan kembali mencari dan menemuiku lagi. Sehingga aku pun tidak perlu merasakan kehilangannya sekali lagi.


Ridhwan mungkin melakukan kesalahan, tapi bukan berarti aku selalu benar. Aku yakin tidak mudah baginya memutuskan untuk pergi dariku, sementara ia tahu betul  bahwa aku tidak bisa jika harus tanpanya. Aku percaya tidak ada kepergian yang tanpa alasan, entah karena kesalahanku atau kekuranganku yang menjadi alasan perginya, aku hanya berharap Ridhwan dapat sepenuhnya memaafkan.

Waktu yang tanpa Ridhwan berlalu dengan cepat, di waktu itu aku belajar banyak hal. Sekarang aku sudah baik-baik saja, dan mungkin karena masih mencintainya aku juga merasa lebih perkasa. Ikhlas sudah menjadi tugas ku jika itu menyangkut ia.


Ridhwan,
Aku minta maaf, jika sampai hari ini pun aku masih bersikeras bahwa akulah orang yang paling mencintaimu. Maaf jika sampai akhirpun aku tidak mau mengalah dengan perdebatan kita tentang siapa yang lebih sayang. Hahaha.

Di lain hari kita juga memperdebatkan tentang kamu yang mengeluh menjadi satu-satunya orang yang selalu mencariku, tapi aku sekalipun tidak pernah mencarimu.  Kamu bilang aku hanya bisa menunggu. Kali ini aku harus mengaku, kamu benar, kamu yang menang.

Ridhwan, sedari awal kita memulai hubungan, mau tidak mau, sadar tidak sadar, aku setuju untuk menjadi pihak yang menunggu. Itulah yang kau bilang dulu. Kamu tak pernah memintaku menunggu, begitu juga aku yang tidak pernah meminta kamu mencari ku. Lantas kenapa kamu berusaha mencari-cari seseorang yang dengan jelas sedang menunggumu? Mengapa kamu mencari seseorang yang bahkan tidak pernah berpikir untuk meninggalkanmu? Kamu mencariku atas kemauanmu, dan kesal sendiri karena aku tidak mencarimu. Sementara kamu mencariku, aku duduk di satu tempat yang sama, yang kamu tau dimana, yang bisa kau temukan dengan mudahnya. Tidak ada yang ku lakukan disana, selain menunggu.

Ridhwan, menunggu itu berat dan melelahkan, apalagi menunggu sesuatu yang bahkan kita sendiri tidak tau kapan hari itu akan datang, hari dimana kamu menyelesaikan masalahmu, hari dimana ujianmu berakhir hingga kamu bisa menghubungiku seperti biasa, juga hari dimana kita bisa bertemu dan berjabat tangan, itulah hari yang paling ku tunggu-tunggu.

Hampir satu tahun berlalu, ketika kamu beberapa kali mengeluh tentang aku yang tak pernah mencarimu. Seingatku, baru satu kali aku mengeluh tentang betapa bosannya aku menunggumu, dan kamu dengan segala cara selalu mempermasalahkan itu, kemudian mengungkitnya lagi dan lagi.

Ridhwan, jika kau rasa mencari itu segalanya dan menunggu itu adalah hal yang mudah, kenapa kamu bahkan tidak mau mencobanya? Saat aku bertanya mau kah kamu menunggu ku sampai siap menikah denganmu, kamu bilang kamu ingin membuka usaha dan berpikir ulang tentang pernikahan itu. Kamu mungkin tidak pernah tau betapa hancurnya perasaanku saat itu.

Ridhwan,
Bahagiamu mungkin bukan urusanku lagi, tapi sekarang bahagialah. Demi Tuhan bahagialah.
Aku juga akan melakukan hal yang sama.

Semoga kita tidak dipertemukan lagi dalam situasi apapun, karena jangan sampai aku menjatuhkan air mata di hadapanmu. Bahkan jika suatu hari nanti kita bertemu disuatu tempat, berpura-pura lah tidak mengenaliku, larilah kalau bisa, karena jangan sampai aku memelukmu dan tidak mau melepaskannya lagi. Atau jika nanti aku datang dan memohon-mohon untuk kau kembali, tolong acuhkanlah.

Ridhwan, takdir Tuhan tidak pernah salah, jika ada yang salah maka itu adalah kita.
Aku tidak marah denganmu, kamu tau aku tidak bisa melakukan itu. Aku juga sama sekali tidak menyalahkanmu, apalagi membencimu. Kamu satu-satunya orang yang aku cintai dan tidak pernah ku rencanakan untuk menjadi orang yang ku benci, sedari awal, sedari aku melihat foto profil line mu pertama kali.
Tak perlu datang lagi untuk meminta maaf, karena jauh-jauh hari sebelum kamu membuat kesalahan, aku sungguh sudah memaafkan mu.

Takdir kita mungkin sudah selesai,
Takdir baru dengan orang yang baru mungkin akan segera tiba, kalau nanti sudah waktunya, untuk mu aku berpesan: carilah mata yang minimal seperti mataku memandangmu.

Akhir kata,
Untuk segalanya, terimakasih dan maafkan aku.


Aku lapar :( *sudah 3 jam*

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dipertemukan untuk berpisah dengan cara yang lebih perih.

He broke the girl who loved him more than she loved herself.

Rindu.