Tulisan pertama Ridhwan, untuk ku.

Untuk yang tersayang, Eka Febrianty.  

Perlu kamu tahu sebelumnya, bahwa aku ini bukan orang yang biasa menuliskan sesuatu. Bahkan ketika menerima asupan materi kuliah dari dosen sekalipun. Alasannya hanya karna aku malas. Meskipun aku sering mendengar bahwa selain dengan minum air putih dingin, perasaan lega dapat dijumpai dengan menuliskan ide, gagasan atau apapun yg ada di kepala kita, aku tidak begitu tertarik. Tapi, kali ini aku merasa harus menuliskan sesuatu yang beberapa minggu terakhir ini acap kali menjadi sumber kebahagiaanku. Mungkin ini akan menjadi tulisan terpanjang sejak karangan bebas yang kubuat di kelas 5 Sekolah Dasar.

Dia biasa dipanggil Eka. Lengkapnya, Eka Febrianty. Mungkin karna dia anak pertama, dan lahir di bulan Februari. Sedikit tentangnya, menurutku dia manis, punya suara yang lucu, dan terpenting, dia selalu benar. Pada dasarnya, dia sama seperti perempuan lainnya. Yang membedakan hanya dia tidak punya pensil alis, dan lebih rumit dari konjektur a+b=c dalam ilmu Matematika. Tak perlu kujelaskan bagaimana aku mengenalnya. Karna layaknya aku, kamu juga akan menertawainya.

Awal mengenalnya, dia sudah menjadi pribadi yang menyenangkan. Atau begitulah menurutku. Kami bertukar pesan singkat di LINE sambil membahas apa apa yang perlu untuk kenal satu sama lain. Dia orang yang kelihatan tidak suka basa-basi. Tapi alih-alih kenal lebih jauh, kami lebih sering melempar candaan. Membahas hal-hal tidak penting dan sebagainya. Dan nyatanya, hal-hal seperti itulah yang justru mendekatkan. Dia seperti terhibur bahkan dengan hal kecil yang kami bicarakan. Kami entah bagaimana, seperti punya humorsense yang mirip. Jadi kupikir itu akan memudahkanku untuk bisa menghiburnya. Perempuan senang dihibur, bukan?

Beberapa hariku berlalu ditemani pesan-pesan singkat darinya. Bahasannya masih sama, yaitu  hal-hal yang tidak begitu penting. Tapi mau tidak penting pun aku tertarik, dan mungkin dia juga. Itulah mengapa kami jadi semakin dekat. Bahkan sesekali kami meluangkan waktu untuk bertelepon. Kini aku tahu sedikit banyak tentangnya. Seperti kegiatannya yang sibuk, dia bekerja dari senin sampai jum’at di kantor pemerintah, berkuliah di akhir pekannya, dan tidur di sisa waktunya. Atau yang menarik seperti sudah meng-khatam hampir semua drama korea, penggemar berat serial Sherlock Holmes, dan seorang fan Manchester United FC. Tentunya juga bagian lucu darinya seperti menyukai kuning telur setengah matang, belajar di jurusan teknik komputer sambil  bercita-cita menjadi psikolog, dan betapa dia mampu menjadi realistis juga mustahil dalam waktu bersamaan.

Dia sering menceritakan tentang dirinya yang ‘unik’. Dan aku selalu menikmati setiap ceritanya. Pun dia yang terlihat menikmati, setiap aku bercerita tentang diriku. Kami masih suka bercanda soal apapun, membicarakan apapun , juga menertawakan apapun. Pernah suatu hari dia minta kutebak tentang bagaimana karakter dirinya. Terus terang ini bukan hal mudah. Terlebih di saat kamu ingin menyenangkan hatinya tanpa mengetahui apa yang membuatnya senang. Karna kami tidak pernah bertemu, mengenalnya juga belum sampai sebulan kala itu. Sementara dirimu pun bukan peramal. Tapi tentu saja membuatnya kecewa bukan pilihanku, walaupun belum tentu dia kecewa kalau aku bilang tidak bisa atau tidak tahu. Jadi lah, kuberi tahu apa yang menjadi karakter dan sifatnya sesuai ke-sok-tau-an-ku.

“Bener semua haha. Kok bisa? Padahal gak pernah ketemu” jawabnya setelah membaca seluruh tebakanku. Dia terpukau, speechless mungkin. Sementara aku sendiri bertanya-tanya dengan herannya, kenapa bisa? Aku pun bingung. Mungkin inilah hasil dari kuliahku bertahun-tahun, dan aku cukup bangga dengan tidak sengaja menunjukkan ini padanya.

Pernah juga dia bercerita mengenai bagaimana pikirnya tentang orang yang sedang berpacaran. Menurutnya, selalu ada dua bagian dari setiap pasangan. Bagian yang menyayangi dan bagian yang biasa-biasa saja. “Aku tuh selalu nebak-nebak kalo lagi liat orang yang pacaran. Ini pasti cowoknya deh yang sayang banget, ceweknya biasa aja. Kadang juga ada, ini mah ceweknya yang sayang, cowoknya biasa aja” begitu katanya. Aku tertawa mendengarnya. Aku tidak menyalahkannya, karna kenyataannya yang dia bilang itu memang berlaku ke beberapa pasangan di luar sana. Aku hanya tersadar, realistis sekali cara bepikirnya.  

Lain hari ketika menelponnya, aku menyadarkannya atas pandangannya terhadap pria yang romantis. “Menurutku, biasanya cowok yang ngasih coklat atau boneka ke pacarnya itu romantis.” katanya. “Romantisan mana sama cowok yang ngasih tiga juta dollar ke pacarnya?” jawabku. “Ya yang ngasih tiga juta dollar sih” pungkasnya sambil tertawa. Dan karna percakapan ini, dia masih menagih uang tiga juta dollar dariku. Namun aku hanya berkelah dengan mengatakan bahwa aku bukan pria yang romantis, hehe.    

Begitulah, bagaimana aku menghabiskan waktuku dengannya. Kamu harus tahu bahwa sulit membuatnya terus tertarik kepadamu. Terlebih dia adalah sosok yang mudah bosan terhadap sesuatu. Tapi tentu tidak denganku, katanya. Banyak hal yang kusuka darinya, yang menurutku tidak perlu kutumpahkan semua kesini. Hanya aku menyadari, bahwa semakin mengenalinya semakin ku menemukan diriku sendiri. Kami mirip, pikirku. Dia pun setuju. Bedanya hanya aku selalu salah dan tentu saja dia yang selalu benar.  

Sebenarnya ada banyak lagi, tapi kamu hanya akan menyukainya kalau tahu lebih banyak tentangnya. Jadi kurasa itu tidak perlu sama sekali. Dan juga kamu harus tahu bahwa aku mendapatkan ini langsung darinya, yang aku yakin tidak akan mudah untukmu mendapatkannya. Jadi setidaknya kamu harus berterimakasih jika telah membaca dan mengetahui sedikit tentangnya.  

Sekarang, ada sesuatu yang ku tunggu sebelum aku tidur. Juga sesuatu yang ku cari setelah aku bangun. Dan itu adalah dirinya. Setelah itu sampai di satu titik aku menemukan bahwa diriku menyukainya. Entah sejak kapan. Aku suka, bahkan di bagian terumit darinya. Saat ku pikir aku telah mengetahui sesuatu yang baru, semakin ku sadar bahwa hanya sedikitlah yang ku ketahui tentangnya. Lantas hal itu membuatku terpacu untuk lebih banyak tahu tentangnya. Aku pernah untuk beberapa hari kehilangan dirinya karna hal yang tidak bisa dia jelaskan. Juga pernah punya masalah yang sedikit rumit dan membuatnya bingung mau membalas pesanku. Di dua titik itu, aku merasa ada yang hilang. Meskipun dalam porsi yang berbeda tentunya. Aku hanya merasa tidak mau itu terjadi. Diriku menolak akan hal itu. Karna itu, aku selalu mencoba membuatnya nyaman, kapanpun. Aku seperti benar-benar menginginkannya. Dia tahu itu. Dia harus tahu.  

Kemarin aku menelponnya. Kami menghabiskan waktu empat setengah jam lebih di telepon. Rekor terlamaku. Tidak pernah aku menelpon atau ditelpon seseorang dan menghabiskan waktu sedemikian banyak untuk itu. Tidak ketika menelpon keluargaku. Tidak juga ketika ditelpon sahabat sebangku SMA ku di Frankfurt. Hanya dengannya. Empat setengah jam paling indah dalam hidupku. Dan aku bahagia akan itu.
Kami bercerita tentang apapun. Benar-benar tentang apapun. Mulai dari mimpiku kemarin malam, Ahok, budaya pernikahan ditempatnya dan berakhir ke kisah masa kecilnya yang kerap membuatku tertawa. Aku terhibur. Terlebih karna dia, seorang yang tinggi gengsinya, dengan lancarnya menuturkan masalalu yang terjadi di hidupnya.

Kamu boleh menganggap itu biasa saja. Tapi tidak denganku. Dan kamu, tidak boleh tahu rasanya jadi aku hari itu.

Hari dimana aku memberikan tulisan ini kepadanya, dia genap berusia 20 tahun. Aku tidak akan memberitahumu apa do’aku untuknya karna sebagian dari kamu mungkin tidak akan setuju. Tidak apa, biarlah hanya malaikat yang meng-amini-nya. Yang jelas aku berdo’a akan segala yang terbaik untuknya.

Seperti yang ku ungkap di awal, orang inilah yang menjadi sumber bahagiaku. Bukan hanya itu, dia mampu memberi tenaga, semangat dan senyuman kepada ku. Jika ada yang ingin bertanya apakah aku menyayanginya? Itu jelas. Apakah aku ingin memilikinya, menikahinya dan segala sesuatu agar bisa bersamanya? Ya, tentu saja. Apakah aku harus segera menghabiskan uang dan menemuinya kesana? Tidak, aku rasa tidak perlu. Dia bukan orang yang ingin orang lain berkorban sedemikian besar, hanya demi dirinya. Itu hanya akan membuatnya tidak nyaman dan rasa tidak nyaman adalah musuh kami bersama. Lalu apa yang harus aku lakukan? Bersabar. Memaksanya hanya akan membuat tanduknya meruncing. Aku hanya akan membuatnya nyaman untuk terus bersamaku dan membuatnya benar-benar ingin menemuiku. Sampai di saat dia sanggup menyuruhku untuk membeli tiket demi bisa menemuinya. Sanggup menyuruhku berkorban demi dirinya tanpa melibatkan rasa tidak enak hatinya yang besar.

Aku bahkan tidak pernah berjanji apapun. Kurasa dia juga akan melarangku berjanji sesuatu padanya. Dan menurutku ini adalah hal yang baik. Bukan berarti aku tidak punya sesuatu yang di semogakan atau tidak ingin punya komitmen dengannya. Tapi lebih kepada rasa tenang, untuk tidak gegabah terhadap apa-apa yang aku inginkan. Kamu tahu kan? Semakin banyak kamu berjanji, semakin banyak jalan mengingkarinya. Biarlah cukup aku yang berucap, dan ku adukan kepada Yang Maha Kuasa. Dia lagi mengetahui yang terbaik untukku.

Sebelum aku menyudahi ini semua, aku ingin berpesan padanya bahwa, aku berterimakasih kepada Allah karna telah mengirimnya ke dunia. Kepada orangtuanya karna telah melahirkan dan merawatnya dari kecil. Kepada teman-temannya karna telah menemaninya sampai sekarang. Juga kepada siapapun yang telah mengajarinya sesuatu. Kini untukmu, izinkan aku juga turut ambil bagian di hidupmu. Membantu apapun yang perlu. Memperindah apa yang sudah indah. Serta menyempurnakan apa yang hampir sempurna.

Selamat hari lahir, Eka Febrianty. Aku menyayangimu, 20 tahun lebih lama dari selamanya.

Bursa, Turki 2017.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Dipertemukan untuk berpisah dengan cara yang lebih perih.

He broke the girl who loved him more than she loved herself.

Rindu.